Guncangan Besar (2); Demokrasi Saling Tuding


Ini bagian kedua dari tulisan serial saya tentang problematika putusan Mahkamah Konstitusi. lebih umum, tulisan ini mencoba menelaah konstelasi sosial-politik menjelang hajat lima tahunan mendatang. (Lihat, Putusan Sesat Mahkamah Konstitusi)

Masih seputar MK dan penangguhan putusan yang nantinya berpotensi menjadi sumber kekacauan pemilu. Bagi saya, MK sedang mencetak gambar buram dirinya sendiri setelah minggu lalu mengetuk putusan kontroversial atas uji materi UU 42 tahun 2008 tentang pilpres

Rahasia umum, kalau Undang-Undang Pilpres termasuk yang paling sering diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi, bisa jadi karena yang paling menohok dalam hal kemampuannya mengatur mekanisme pemilihan orang nomor wahid di Republik Indonesia. Meski sudah berkali-kali diolak, kali ini Majelis tak bisa mengelak untuk mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Sipil meski memangguhkan putusannya hingga 2019.

Selain koalisi, dalam kurun waktu yang tak terpaut jauh Prof. Yusril Ihza Mahendra pun mengajukan permohonan uji materi terhadap UU yang sama. Sempat dituding nebis in idem, meskipun tak mendasar. karena bila diteliti dengan seksama terdapat hal mendasar yang membuat dua pengajuan tersebut berbeda. (Lihat, Membandingkan Petitum Yusril dan Efendi Gazali)

Sederhana sekali memahaminya, Koalisi yang diwakili oleh Efendi Gazali mengajukan uji materi berdasarkan kerugian konstitusional yang dialami dirinya sebagai pemilih, sedangkan Yusril berdasarkan hak konstitusionalnya selaku yang dipilih. Selain itu, pasal dan batu uji pasal hingga petitumnya juga memang berbeda.

Sehingga, perbedaan legal standing dari kedua pemohon tersebut memiliki implikasi  bagaimana keduanya mendapatkan putusan secara proporsional. Tak menutup kemungkinan, nantinya akan ada perubahan putusan untuk pengujian Yusril. Ini peluang kedua agar pemilu serentak sebagaimana dimaksud pasal norma Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 dapat dilaksanakan tahun ini.

Pertanyaanya, akankah hakim berani mempertaruhkan wibawa Majelis di mata publik dengan memutuskan batal demi hukum atas pengujian sebelumnya? Atau lebih memilih berkelakar dengan dalih nebis in idem karena sudah diputus pada sidang sebelumnya, atau mungkin pula MK memilih adat lamanya, mengambil jalan tanpa keputusan hukum yang benar-benar bulat?

Ad Infinitum

Debat panjang konstitusi setidaknya pernah terjadi pada pemilu 2009, saat itu kita dibuat riuh oleh putusan Mahkamah Agung yang menolak hasil perolehan pileg tahap dua. Hal serupa kini sedang bergulir menjelang pemilu tahun ini. Didasari oleh semangat pembaharuan atas demokrasi kemudian malah menjadi momok praktik saling sandera antara elit politik menjelang dan setelah pemilu.

Sikap masing-masing partai politik mengenai putusan MK, sekurang-kurangngnya menjadi gambaran utuh konstelasi yang akan terjadi nanti. Blok partai politik dengan basis pemilih yang kuat akan berhadap-hadapan dengan partai yang mengandalkan kekuatan figure semata.yang pertama kita menemukan ada PDIP, Golkar, Demokrat, PPP dan PKS, sedangkan sisa lainnya masuk kategori kedua.

Dalam diskursus pemilu baru-baru ini, partai politik seperti sedang berbalas pantun, masing-masing saling tuding dengan kadar argumentasi selevel--dalam kamus Dony Gahral--"politik asjadut"; asal jadi duit atau "politik asjara"; asal jadi suara. Sekiranya tak menguntungkan popularitas, partai sungkan untuk membela.

Sehingga, bila kembali pada nasib putusan MK tadi, saya kok melihat partai politik lebih mendahulukan sikapnya pada persoalan dana saksi partai ketimbang UU Pilpres yang berkaitan dengan legal atau tidaknya pemilu dilaksanakan. Mereka malah sibuk kembali saling tuding, padahal konstitusionalitas pemilu saja belum terjawab seutuhnya di majelis MK atau mereka sedang diam-diam menyimpan "peluru terakhir" manakala partainya tergilas dalam pertarungan di pemilu mendatang.

Oleh karena itu, meskipun budaya saling gugat dalam tingkatan tertentu bisa terjebak kedalam sikap meremehkan wibawa institusi, tetapi dalam era demokrasi apa saja boleh digugat asal tak saling tuding. Inilah perdebatan ad infinitum dalam politik, persoalan hukum di Mahakamah Konstitusi akhirnya diseret sedemikian rupa dari arena hukum kedalam arena politik.

Desakralisasi

Beberapa bulan lalu, MK geger gara-gara pimpinannya tersandera kasus suap pilkada Lebak. Akibatnya, produk putusan MK mengalami desakralisasi ekstrim. Dengan demikian, publik sedang dihadapakan pada kenyataan pahit bahwa posisi MK sebagai penjaga konstitusi akhirnya diketahui sudah terjangkit syndrom menakutkan; serakah kuasa dan harta. kecurigaan publik yang selama ini tertahan oleh daya imun MK, kini sudah tak terbendung lagi.

Maka, kecurigaan publik terhadap adanya intrik politik dalam putusan pemilu serentak bisa dinilai wajar, apalagi sejak diketahui putusan tersebut sudah melalui RPH jauh-jauh hari. Lebih jauh, hal itu sebenarnya memiliki kaitan secara tidak langsung dengan demoralisasi yang terjadi ditubuh MK itu sendiri.

Selain itu, Desakralisasi institusi hukum sudah menjadi konsekuensi logis manakala politik terlalu arogan dan hukum sudah sedemikian manja ketika berhadapan dengan politik. Padahal dua kekuatan tersebut sebenarnya memiliki porsi masing-masing dan harusnya saling menguatkan.

Namun, saat kekacauan ini sudah dimulai, kita hanya berharap masih ada manusia Indonesia yang berpikir jernih bahwa kepentingan politik sebaiknya ditunda demi kepentingan hukum. Hajat lima tahunan yang akan kita selenggarakan beberapa bulan lagi mestinya mampu merumuskan kepemimpinan nasional yang searah dengan tantangan bangsa kedepan. Bukan sekedar saling gugat dan saling tuding tetapi saling merekat antar seluruh eksponen demi Indonesia raya. Merdeka!

comment 0 komentar:

 
© Electa Watch | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger