PEMUDA INDONESIA sejak 1928 telah mengisi labirin sejarah bangsa ini, eksistensinya kokoh dalam menyulam helaian sejarah. semangat patriotik yang menyala telah membakar dan melumat habis segala bentuk penindasan mulai dari imperialisme kulit putih hingga otoriterianisme penguasa yang rakus. Tentu saja, kita tidak mungkin lupa dengan kata Bung Karno “bawakan padaku sepuluh orang pemuda, akan ku goncang dunia”.
Begitulah romantisme pemuda dalam sejarah, perjalanan panjang tentang pemuda mengingatkan kita pada masa keemasannya. Bayangkan saja, pada tahun 1928 pemuda Indonesia telah mampu menjalin komunikasi lintas pulau, mereka berkumpul disebuah kost-kosan di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. dengan penuh keyakinan, mereka berbait diri, bersumpah hingga melampaui batasan apapun. Perbedaan suku, bahasa, agama dan budaya justru menjadi modal sumpah kesatuan tersebut.
Sikap idealisme, jiwa patriotis dan semangat kebersatuan telah menjadikan pemuda sebagai perekat bangsa yang terpecah-pecah, bangsa yang selama 350 tahun terkurung dalam kantung imperialisme kulit putih. layak digarisbawahi, bahwa pemuda pula yang pertama kali mengibarkan panji-panji kemerdekaan bangsa Indonesia hingga seperti sekarang.
Ironi Pemuda
Hari Sumpah pemuda adalah titik kulminasi dari kegelisahan pemuda, merefleksikan muatan nilai yang dikandungnya harus kita pahami sebagai bagian dari proses memaknai dan memberikan pengertian atas bangunan kehidupan yang kita jalani sekarang ini.
sayangnya, hanya sebagian kecil saja yang masih merasakan atmosfer kegagahan pemuda, eksistensinya melebur tergilas zaman. Pemuda dan cerita-cerita heroiknya kini hanya tersimpan abadi disetiap museum. Sumpah Pemuda yang seharusnya tetap hidup dalam setiap ubun-ubun generasi muda dalam perjalanannya telah berubah menjadi ‘rumah tontonan’ belaka.
Jiwa perkasa pemuda telah bertransformasi menjadi narasi yang mati, menjadi tontonan kolosal, menjadi komoditas politik bagi “para tongkang berdasi”. Ironi kematiannya disenandungkan sebagai lagu pengantar tidur anak cucu kita. Hingga kini, Sumpah pemuda dengan tanpa kompromi ditempatkan sebagai seremonial tahunan tanpa didorong untuk memahami makna yang dikandungnya.
Alenia-alenia diatas seperti fiksi, semacam kegelisahan yang dibumbui metafora. Namun begitulah adanya, kami mengada-ada yang memang ada terlihat, terasa dan terpikirkan.
Kami pun merasa perlu untuk memaparkan realita pemuda pada konteks sekarang, suka atau tidak suka dalam banyak hal makna pemuda telah mengalami pergeseran yang amat memprihatinkan.
Jika dahulu pemuda turut menggagas kebersatuan bangsa, maka hari ini justru pemuda menjadi pemecah kebersatuan itu. Sendi kehidupan mereka telah dijejali sikap rasisme, maka tidak heran jika ‘pemuda bandung’ sampai hari ini tetap bermusuhan dengan ‘pemuda jakarta’.
Selain itu, dari sekian banyak episode kasus terorisme, kita pun maklum bahwa hampir seluruhnya diperankan oleh pemuda. Mereka telah menjadi martil bagi kepentingan golongan tertentu.
Senandung keberpihakan pada rakyat yang selalu menghiasi karya-karya pemuda sudah jarang terlihat. Sebaliknya, kini mereka lebih senang memikirkan bagaimana caranya senandung rakyat berpihak padanya.
Ironi diatas hanyalah beberapa, sebagian yang lain biarlah menjadi rahasia kita bersama. Namun satu hal, coba pikirkan dengan seksama, apa yang sebenarnya telah terjadi pada pemuda bangsa ini? Lalu siapa yang telah tega mencabuli makna pemuda dalam kamus-kamus kita? dan kapan kita bisa diskusi masalah ini di Ushuluddin?
0 komentar:
Posting Komentar