Rabu, 24 Agustus 2011

Nazarudin, Media dan Kiamat Kecil



Bukan Nazarudin kalau tidak mengejutkan, mantan bendahar umum partai Demokrat ini dua hari terakhir membuat publik terkejut lagi. Sebab semua konten pernyataannya terkait orang-orang penting di negeri ini. Selain menyangkut petinggi dan elit politik, keberadaan Nazaruddin yang hingga kini masih “petak umpet” dengan KPK dan Interpol menjadi hal yang juga menarik. Maka otomatis jangankan menangkap Nazaruddin secara fisik, mendengarkan suaranya yang “sumbang” pun menjadi sesuatu yang diharap-harapkan. Suara sumbang Nazaruddin akhirnya terdengar dalam wawancara langsung di stasiun televisi Metro TV. Sampai sekarang setidaknya dua kali sudah Nazaruddin memunculkan suaranya dalam wawancara sore dengan penyiar Metro TV.
 
Saya berpikir sejenak dengan metode logis-rasional yang tak terlalu njelimet (bukan katanya-katanya), terkait Nazaruddin yang mau menelepon (diwawancarai) secara live di stasiun tv tersebut. Pertanyaan kemudian bermunculan selintas di benak saya. Kenapa dia tidak menelepon (diwawancarai) live di stasiun tetangga seperti TV One atau RCTI atau tv lainnya? Maka kebiasaan (mungkin) segelintir orang Indonesia untuk menduga-duganya juga menghampiri saya. Saya berpikir pasti ada kaitannya antara peristiwa yang “langka” ini dengan realita di balik itu semua. Jika boleh meminjam istilah “Bang Ali dalan sinetron Islam KTP”, inilah yang dia sebut sebagai “rahasia di balik rahasia”.
Pertama, publik mesti ingat jika sebelum pemberitaan Nazaruddin sesanter dan kasusnya disorot seperti sekarang, Metro TV juga pernah (sukses) menelepon Nazaruddin live terkait persoalan dengan Sekretaris Mahkamah Konstitusi. Memang hebat, lincah dan aktual para wartawana tv berita yang satu ini. Sekarang di tengah-tengah KPK, Kepolisian dan Interpol mencari-cari Nazaruddin, tak dinyana dia menelepon (ditelepon?) secara live di Metro TV. Pikiran nakal saya mengatakan, jangan-jangan ini karena Metro TV adalah salah satu stasiun yang cukup “keras” tamparannya bagi pemerintah (bahkan untuk Bapak Presiden). Sebut saja kalau boleh “televisi oposisi”. Metro TV dimiliki oleh “Pak Brewok” alias Surya Paloh, merupakan tokoh yang sangat kritis terhadap pemerintah sekarang. Beliau melahirkan Nasional Demokrat (Nasdem). Antara Metro TV dan Nasdem punya ikatan ideologis secara personal dengan sang good fathernya yakni Surya Paloh. Realita ini tak bisa kita pungkiri.
Tentu menjadi sorotan yang sangat renyah ketika Metro TV “menggoreng” berita Nazaruddin (ditambah wawancara dengan dia tadi), untuk menjadi hidangan yang lezat bagi publik, khususnya bagi mereka yang sudah bosan dengan “Demokrat dan Pak Presiden”. Kedua, publik mesti ingat bahwa pengacara Nazaruddin adalah Prof. Dr. O.C. Kaligis yang nyata-nyata merupakan salah seorang fungsionaris Nasional Demokrat (Nasdem). Lebih tepatnya beliau adalah anggota Dewan Pakar Nasional Demokrat (lebih lanjut lihat www.nasionaldemokrat.org). Akhirnya saya mencoba mengutak-atik (namanya juga menduga-duga) bahwa ada keterkaitan antara Nazaruddin, OC. Kaligis dan Metro TV. Maksudnya yaitu Nazaruddin (mungkin dengan masukan cerdas pengacaranya) memilih Metro TV sebagai media yang menyiarkan langsung dialog tersebut. Secara simbolis (rahasia di balik rahasianya bang Ali), hal ini mengisyaratkan jika Metro TV benar-benar teraktual dan sanggup mengalahkan KPK, Kepolisian, Interpol bahkan elit Demokrat untuk bercengkrama dengan sang buronan.
Jauh-jauh Nazaruddin dicari, ternyata dia malah muncul di dalam kamar-kamar Istana Merdeka dan Istana Cikeas. Makin lengkap sudah Metro TV “menggulai” Demokrat dan Bapak Presiden. Saya bukan pakar jurnalistik, tetapi saya melihat apakah kepentingan (ideologis bahkan politik praktis misalnya) akan haram menyentuh sebuah media dengan pemberitaannya? Mungkin Opa Jacob Oetama, Uda Karni Ilyas, Mbah Bagir Manan atau Opung Erman Saragih bisa menjawabnya. Terpenting yaitu jangan sampai media direduksi menjadi instrumen politik pragmatis para elit, yang menjauhkannya dari suguhan kebenaran bukan pesanan. Meminjam istilah Rikard Bangun yakni mencari media yang mengedepankan substansi bukan sensasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar